Prolog:
Malam
tadi, di Kabar Petang tvone, cukup terhenyak saya menajamkan mata dan
pendengaran saya. Narator berita menyebut-nyebut Malaysia. Tebakan awal ”Ah
paling juga berita kekalahan team U23 menghadapai Harimau Malaya”. Salah besar,
ternyata ini Malaysia membuat ulah lagi. Saya mendengar dan melihat
pemberitaan, Indonesia menjual rute penerbangan ke Malaysia. Apa lagi ini? Tunggu-tunggu
apa lagi ini ulah Malaysia, tetangga dekat kita yang mengakunya saudara
serumpun sepertinya sudah berulangkali menginjak harga diri bangsa yang
dipimpin pemimpin yang lemot ini. Lagi dan lagi Malaysia mengusik tetangga……
Inilah
masalah baru yang mungkin menambah luka baru setelah Indonesia diterkam Harimau
Malaya. Sebuah perjanjian yang diklaim merugikan Indonesia. Dalam perjanjian
tersebut, ada perbedaan antara rute penerbangan Indonesia dengan rute Malaysia.
Di mana dalam MoU tersebut Malaysia mendapatkan rute penerbangan yang lebih
ramai.
Tak
hanya berseteru di sepakbola dan tenaga kerja, perebutan hak paten sampai
rebutan pulau dan juga Manohara. RI dan Malaysia juga bersaing dalam rute
penerbangan. Dalam rute penerbangan yang akan dituangkan dalam MoU ini,
benarkah Malaysia mendapatkan jalur lebih 'gemuk' dibanding Indonesia?
Dugaan
ini diungkapkan pertama kali pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Dalam
keterangan tertulisnya, Agus mengatakan baru membaca dokumen MoU atau nota
kesepahaman antara RI dan Malaysia yang ditunjukkan temannya yang hadir di KTT
ASEAN di Bali pekan lalu.
Perjanjian
tersebut tertuang dalam dokumen "Confidential
MoU between Tje Aeronautical Authorities of the Repubclic of Indonesia and the
Goverment of Malaysia on the Implementation of Bilateral Air Service
Agreement". Ironisnya, yang menandatangani dokumen tersebut dari
Indonesia, adalah pejabat setingkat eselon II. Direktur Jenderal Kementerian
Perhubungan Herry Bakti Singayudha Gumay yang kala itu dikonfirmasi TVone via
telepon menjelaskan, Indonesia tetap diuntungkan dalam MoU tersebut. Hal itu
pernah ditandatangani di level menteri lalu turun ke Dirjen. Tahun 2003 sudah
diteken. Tapi ada pembicaraan untuk ditingkatkan tahun 2009 sampai 2011. Tapi
yang 2011 belum ditandatangani. Sebelumnya pada 2010 pernah ada leader meeting
antara Presiden SBY dan Perdana Menteri Malaysia. Hasilnya diperlukan
peningkatan trafik antara Indonesia dan Malaysia. MoU yang berlangsung saat KTT
Asean di Bali, sejumlah maskapai Tanah Air menyatakan dukungannya, seperti
Garuda Indonesia, Batavia Air, dan Lion Air
Pada
dokumen tersebut terlihat bahwa kita menjual wilayah udara kita kepada
Malaysia. Pemerintah Indonesia memberikan 5th Right of Freedom ke Malaysia.
Dalam dokumen yang diperoleh, maskapai Malaysia berhak mengambil penumpang dari
3 bandara yang rutenya gemuk di Indonesia yaitu Soekarno-Hatta, Sultan
Hasanuddin, dan Ngurah Rai, Denpasar. Sedangkan maskapai Indonesia, berhak
mengambil penumpang dari 3 bandara di Malaysia yang rutenya kurus yakni, Kuala
Lumpur, Kuching dan Kinabalu.
Malaysia
dapat rute gemuk, kita oleh Malaysia ditukar dengan rute kurus yang pasti tidak
ada penumpangnya meski frekuensinya lebih banyak. Kalau benar, harga diri kita
digadaikan oleh Kemenhub. Terbukti Terminal III jadi penerbangan Malaysia.
Dirjen Perhubungan Udara Kementerian
Perhubungan Herry Bakti Singayudan Gumay mengatakan kesepakatan dengan
regulator Malaysia itu berbentuk Memorandum of Understanding (MoU) air service
agreement.
MoU dengan regulator penerbangan Malaysia ini
sebenarnya bukan baru, sudah ada sejak 2003, hanya diperbaharui. Pihak Malaysia
belum tandatangani, dari Indonesia baru ditandatangani Direktur Angkutan Udara.
Dalam MoU tersebut Malaysia mendapatkan frekuensi penerbangan dari Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta, Ngurah Rai Denpasar, dan Sultan Hassanuddin Makassar. Secara
frekuensi, kita lebih banyak mendapat kesempatan terbang dari beyond di
Malaysia, memang tapi apa untungnya jika rutenya adalah rute kurus. Penandatanganan
Sejumlah
maskapai kita sudah siap mendukung, seperti Lion yang menyatakan siap terbang
dari Jakarta ke Kuala Lumpur dan lanjut ke India maupun Vietnam. Begitu juga
Batavia Air. Namun selama ini belum ada maskapai Indonesia dan Malaysia yang
memanfaatkannya.
Kesepakatan
dengan Malaysia ini merupakan penggadaian wilayah udara Indonesia kepada
Malaysia yang tertuang dalam dokumen perjanjian “Confidential MoU between Tje Aeronautical Authorities of the Repubclic
of Indonesia and the Government Malaysia on the Implementation of Bilateral Air
Service Agreement”. Perjanjian dengan Malaysia itu harus dibatalkan karena akan
merugikan industri penerbangan nasional. Malaysia mendapatkan frekuensi
penerbangan dari bandara Cengkareng, Denpasar, dan Makassar. Malaysia bisa ke
seluruh kota yang ada di Indonesia dan Australia, Adapun Indonesia, menurut
Agus hanya mendapatkan frekuensi rute penerbangan sepi. Yaitu Kuala
Lumpur-Kinabalu-Kuching,-Asia dan rute Kuala Lumpur-Kuching-Kinabalu-Eropa yang
kurang diminati penumpang. Malaysia dapat rute gemuk kita, oleh Malaysia
ditukar dengan rute kurus yang pasti tidak ada penumpangnya meski frekuensinya
lebih banyak. Bahkan Malaysia masih meriview Kuala Lumpur sebagai beyond maskapai
Indonesia. Jika pemerintah Malaysia mau adil, seharusnya membuka bandara yang
ramai seperti Penang, hukan Kuching maupun Kinabalu. Kalau dari Penang, ini rute
gemuk, mungkin banyak yang mau ke Eropa dan Asia. Seharusnya Malaysia diberi
bandara yang sepi juga di Indonesia seperti Labuan Bajo, Cilacap, atau Bandung
ketimbang Denpasar dan Makassar. Jadi itu pernah ditandatangani di level
menteri lalu turun ke Dirjen. Tahun 2003 sudah diteken. Tapi ada pembicaraan
untuk ditingkatkan tahun 2009 sampai 2011. Tapi yang 2011 belum ditandatangani.
Sebelumnya pada 2010 pernah ada leader meeting antara Presiden SBY dan Perdana
Menteri Malaysia. Hasilnya diperlukan peningkatan trafik antara Indonesia dan
Malaysia. Malaysia dapat rute gemuk, kita oleh Malaysia ditukar dengan rute
kurus yang pasti tidak ada penumpangnya meski frekuensinya lebih banyak. Kalau
benar, harga diri kita digadaikan oleh Kemenhub. Terbukti Terminal III jadi
hub-nya penerbangan Malaysia (Air Asia, red)
Menurut hemat saya, bila ini bila benar,
menjadi miris di tengah luka olahraga yang masih melekat dalam diri warga
bangsa. Sebetulnya, persoalan ini tidak perlu mencuat apabila dilakukan kedua
Negara secara adil dan fair play. Yang di khawatirkan, jual beli rute
penerbangan ini, berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, terutama
pendapatan Garuda, yang notabene perusahaan milik pemerintah. Dan sedikit
banyak, uang rakyat melekat di perusahaan plat merah tersebutMalaysia dapat
menerbangi tiga bandara di Tanah Air untuk kemudian terbang kembali ke beberapa
kota di Indonesia dan ke negara lainnya, begitu juga sebaliknya Indonesia.
Dan juga Garuda juga
harus belajar sama Air Asia, Air Asia itu low cost carrier yang secara
perusahaan profitable. Bandingkan dengan Garuda pas-pasan. Udah gitu,
masyaratkat indonesia harus bersyukur ada Air Asia, coba apa semua mau bayar
harga Garuda? Kadang murah iya tapi seringkali mahal. Mau naik Lion? Biang
telat dan karene mau murah tidak boleh komplain. Air Asia paling tidak masih
professional. Dan kalo ga ada Air Asia, ya siapa mau sewa Terminal 3 yang mahal
itu? Kalo tukeran rute, ya memang tidak bisa dihindarilah. Kita kan bisa nolak.
Kalo tetap jadi, ya antara memang yang kita dapat jg lumayan gemuk, atau
kemenhub nya dibungkam, tak tau mesti pakai apa membungkamnya (uang).
ada yang lucu di komentar detik.com